Serial Fikih Muamalah (Bag. 1): Mengenal Perspektif Islam terhadap Fikih Muamalah
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup dan memenuhi kebutuhannya ketika sendirian. Manusia membutuhkan sebuah lingkungan dan komunitas agar bisa saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, seorang manusia, khususnya yang beragama Islam, sangatlah butuh untuk mempelajari hal-hal mendasar, aturan-aturan, dan hal-hal yang berkaitan dengan interaksi dan transaksi. Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَ إِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” (QS. Al-Isra’: 7)
Keteledoran dan ketidakperhatian seseorang terhadap ilmu interaksi dan transaksi menyebabkan terjadinya perdebatan, perpecahan, dan permusuhan di antara masyarakat. Jika saja seorang muslim bisa berinteraksi dengan baik terhadap saudaranya, tentu saja ia akan hidup dalam rasa aman, tenteram, dan penuh ketenangan, jauh dari rasa permusuhan dan perpecahan.
Sayangnya, interaksi dan transaksi antara seseorang dengan yang lainnya di masa kini telah dipenuhi dengan kecurangan, kedustaan, dan pengkhianatan. Sehingga pada akhirnya komunitas masyarakat yang ada dipenuhi dengan kerusakan, akhlak yang buruk, dan rusaknya daerah yang ditempati.
Tidak diragukan lagi, solusi dan jalan keluar satu-satunya akan permasalahan ini adalah dengan mengikuti hukum-hukum yang bersumber dari Islam, berpegang pada akhlak yang baik, dan kembali mempelajari konsep-konsep dasar berinteraksi dan bertransaksi (muamalah) yang sesuai dengan syariat ini.
Baca Juga: Hukum Berjual-Beli dan Menggunakan Produk Non-Muslim
Apakah fikih muamalah itu?
Sebelum menjelaskan makna ‘fikih muamalah’ secara keseluruhan, tentu sebelumnya akan lebih baik bila memahami terlebih dahulu satu-persatu kata yang tersusun pada ‘fikih muamalah’.
Yang pertama: kata ‘fikih’ (الفقه). Fikih secara bahasa artinya adalah pemahaman, keilmuan, dan kecerdasan. Sehingga fikih tidak terbatas pada pengetahuan perihal hukum-hukum syar’i saja. Akan tetapi, masuk di dalamnya pengungkapan alasan sebuah hukum, sumber-sumbernya, dan tujuan-tujuannya. Semua itu akan membantu seorang mujtahid dalam menyimpulkan sebuah hukum fikih dari konteks dalil-dalil syar’i yang ada. Ilmu fikih berpengaruh besar terhadap kualitas seorang muslim dalam mempraktekkan hukum-hukum tersebut. Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan,
فمن فقه أسباب هذه الأمور التي أمر ونهي، بماذا أمر ونهي، ورأى زين ما أمر وبهاءه وشين ما ما نهي تعاظم ذلك عنده وكبر في صدره شأنه، فكان أشد تسارعا فيما أمر، وأشد هربا وامتناعا مما نهي…
“Barang siapa yang memahami alasan dari hal-hal yang diperintahkan dan dilarang, serta menyadari keindahan dan keagungan sebuah perintah dan menyadari keburukan apa-apa yang dilarang, maka akan menjadi besar rasa hormat dan pengagungannya kepada kedua hal tersebut, sehingga ia akan semakin bersemangat dan bergegas di dalam menjalankan perintah dan semakin berlari menjauh menghindari apa-apa yang dilarang.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1: 79).
Sedangkan definisi “fikih” menurut istilah adalah, “Pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’i yang diperoleh dan digali dari dalil-dalinya yang terperinci.”
Yang kedua: kata ‘muamalah’ (المعاملات). Secara bahasa maknanya adalah: berinteraksi, berkumpul, berteman, dan bergaul dengan seseorang. ‘Muamalah’ seringkali digunakan untuk ‘Tindakan jual beli dan yang semisalnya’.
Secara istilah, ‘muamalah’ memiliki beberapa makna, namun yang terbaik adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Syubair dalam kitabnya Al-Muamalah Al-Maaliyah Al-Muashirah yaitu,
“Hukum-hukum syar’i yang mengatur tingkah laku dan tindakan manusia dalam perkara jual beli.”
“Fikih muamalah” secara keseluruhan memiliki makna,
“Pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan pertukaran harta benda, yang mana pengetahuan tersebut juga menggali tujuan hukum tersebut, sebab-sebabnya dan sumber-sumbernya, serta mengaitkan hukum-hukum tersebut dengan tujuan utama syariat Islam, sehingga mampu mengintegrasikan hukum-hukum yang ada dengan kejadian-kejadian dan kasus terkini.”
Baca Juga: Jual Rumah, Berapa Zakatnya?
Perspektif Islam terhadap fikih muamalah
Jika ditelisik lebih lanjut, agama Islam memiliki perspektif khusus terhadap fikih muamalah. Perspektif tersebut menguatkan identitas dan kemandirian fikih Islam serta menegaskan bahwa fikih Islam itu berlaku sepanjang zaman dan di semua tempat. Di antara perspektif Islam terhadap fikih muamalah adalah:
Pertama: Islam tidak menciptakan bentuk-bentuk transaksi baru di dalam masyarakat.
Saat Islam pertama kali datang di tengah bangsa Arab, mereka telah terlebih dahulu mengenal berbagai bentuk transaksi, baik itu bersifat jual beli, kerjasama, ataupun saling membantu. Mereka telah mengenal jual beli uang di muka, utang piutang, gadai, sewa menyewa, jaminan, atau bahkan kongsi (partnership).
Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh As-Saaib bin Abi As-Saaib Al-Makhzumi radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari pembukaan kota Mekah,
كنتَ شَريكي فنعم الشَّريكُ ، كنتَ لا تُداري ، ولا تُماري
“Dahulu kala, Engkau adalah mitraku (di masa jahiliyyah), dan Engkau merupakan sebaik-baik mitra, Engkau tidak pernah mengatur dan tidak pula mendebat.” (HR. Abu Dawud no. 4836)
Hadis di atas menujukkan bahwa bangsa Arab sebelum Islam datang sudah mengenal sistem kerja partnership (mitra usaha).
Lihat juga bagaimana sistem mempekerjakan orang yang dilakukan oleh Khadijah radhiyallahu anha, istri nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Hisyam rahimahullah menceritakan,
وكانت خديجة بنت خويلد امرأة تاجرة ذات شرف ومال . اتستأجر الرجال في مالها وتضاربهم إياه ، بشيء تجعله لهم
“Khadijah bintu Khuwailid adalah seorang pedagang wanita yang terpandang lagi banyak harta. Dia mempekerjakan pria-pria untuk menjualkan barang dagangannya dan kemudian memberikan sebagian keuntungannya untuk mereka.”
Sikap Islam terhadap berbagai bentuk transaksi adalah sikap yang kritis, reformis, dan memudahkan. Jika di dalamnya terdapat kemaslahatan, maka akan disetujui dan diperbolehkan. Namun jika di dalamnya terdapat sebuah bahaya atau hal-hal yang mengarah pada bahaya ataupun bertentangan dengan prinsip takwa, maka akan diharamkan dan dilarang.
Kedua: Dalam hal transaksi, Islam datang dengan kaidah dan aturan yang ringkas dan menyeluruh. Tidak terlalu mendalami perkara yang mendetail.
Di antara beberapa kaidah tersebut adalah:
Kaidah Pertama: Asas keridaan dan kerelaan diri.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal mengambil harta seorang muslim, kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. Ahmad no. 20695)
Kaidah Kedua: Asas memenuhi akad (janji).
Allah Ta’ala berfirman,
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَوۡفُوۡا بِالۡعُقُوۡدِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji (yang telah diikrarkan).” (QS. Al-Ma’idah: 1)
Akad (janji) bersifat umum, mencakup akad jual beli, sewa menyewa, kerjasama, wakaf, dan lain sebagainya.
Kaidah Ketiga: Larangan dari jual beli yang tidak pasti dan tidak jelas statusnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أنَّ النَّبِي صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli gharar (tidak jelas statusnya).” (HR. Muslim)
Baik itu yang tidak jelas statusnya dalam bentuk akadnya, seperti menjual satu barang dengan dua akad yang berbeda, ataupun yang tidak jelas barang dagangannya, seperti menjual barang yang tidak diketahui bentuknya dan yang semisalnya.
Dan berbagai kaidah-kaidah umum lainnya. Jika seorang mujtahid dan seorang faqih perhatian terhadap kaidah-kaidah tersebut, akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berijtihad dan mampu mengurai kasus-kasus baru yang belum ada penjelasannya baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Ketiga: Islam mengaitkan muamalah dengan keyakinan (akidah) dan moral.
Kaitannya dengan akidah adalah semua harta benda yang ada di tangan manusia semuanya adalah milik Allah Ta’ala. Manusia hanya diberikan amanah untuk mengelolanya saja. Karena Allah Ta’ala-lah yang menciptakan segala sesuatu, baik yang ada di langit maupun di bumi. Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)
Kedudukan manusia terhadap harta hanyalah sebatas wakil saja, bukan pemilik. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap harta harus sesuai dengan kelayakan tindakan seorang wakil yang diberikan amanah, tidak boleh semena-mena dan bijak di dalam mengelolanya. Allah Ta’ala berfirman,
وَاَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِۗ
“Dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah).” (QS. Al-Hadid: 7)
Kaitannya dengan moral adalah fikih muamalah tidak bisa dipisahkan dari moral, baik dari segi wasilah maupun tujuannya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kaidah syariat yang tidak boleh diacuhkan dan dihilangkan: bahwasannya tujuan dan keyakinan merupakan acuan di dalam perilaku (jual beli) dan kebiasaan, sebagaimana ia juga menjadi acuan di dalam perkara ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Keyakinan, niat dan akidah seseorang lah yang akan menjadikan sesuatu itu halal ataupun haram, sah ataupun tidak, menjadi sebuah ketaatan ataupun kemaksiatan.”
Di dalam memanfaatkan harta, seorang muslim dituntut untuk memperlakukan yang lainnya sebagaimana ia ingin diperlakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)
Keempat: Islam selalu mengiringi dan mengikat muamalah (transaksi) dengan tujuan-tujuan syariat.
Yaitu, merealisasikan kemaslahatan dan mencegah keburukan bagi seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Di sisi realisasi kemaslahatan, Islam sangat menganjurkan pengikutnya untuk mencari rezeki, memudahkan, dan memperbolehkan berbagai macam transaksi yang menunjang tercapainya rezeki yang halal.
Dari sisi pencegahan, salah satu contohnya adalah Islam melarang penyalahgunaan harta. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10)
Sebagaimana Islam juga mewajibkan jaminan (ganti rugi) bagi mereka yang merusak dan menghilangkan harta orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ
“Tangan bertanggungjawab terhadap apa yang ia ambil sampai ia mengembalikannya.” (HR. Ahmad di dalam musnadnya no. 19753 dan Abu Dawud no. 3143)
Wallahu a’lam bisshowaab.
[Bersambung]
Baca Juga:
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/75624-serial-fikih-muamalah-bag-1.html